1. Tarian
Tradisional Di Indonesia
Provinsi
DI Aceh / Nanggro Aceh Darussalam / NAD
Tari Tradisional : Tari Seudati
Tari Tradisional : Tari Seudati
Tari
Seudati
Tari Seudati, berasal dari Arab dengan latar belakang agama
Islam. Sebuah tarian dinamis penuh keseimbangan dengan suasana keagamaan.
Tarian ini sangat disenangi dan terkenal di daerah Aceh.
SEJARAH
TARI SEUDATI
Tari
Seudati pada mulanya tumbuh di desa
Gigieng, Kecamatan Simpang Tiga, Kabupaten Pidie, yang dipimpin oleh Syeh Tam.
Kemudian berkembang ke desa Didoh, Kecamatan Mutiara, Kabupaten Pidie yang
dipimpin oleh Syeh Ali Didoh. Tari Seudati berasal dari kabupaten Pidie.
Seudati termasuk salah satu tari tradisional Aceh yang dilestarikan dan kini
menjadi kesenian pembinaan hingga ke tingkat Sekolah Dasar. Tari Seudati
berasal dari kataSyahadat, yang berarti saksi/bersaksi/pengakuan terhadap Tiada
Tuhan selain Allah, dan Nabi Muhammad utusan Allah. Selain itu, ada pula
yang mengatakan bahwa kata seudati berasal dari kata seurasi yang berarti
harmonis atau kompak. Seudati mulai dikembangkan sejak agama Islam masuk ke
Aceh. Penganjur Islam memanfaatkan tarian ini sebagai media dakwah untuk
mengembangkan ajaran agama Islam.
Tarian ini cukup berkembang di Aceh Utara, Pidie dan Aceh Timur. Tarian ini
dibawakan dengan mengisahkan pelbagai macam masalah yang terjadi agar
masyarakat tahu bagaimana memecahkan suatu persoalan secara bersama.
Pada mulanya tarian seudati
diketahui sebagai tarian pesisir yang disebut ratoh atau ratoih, yang artinya
menceritakan, diperagakan untuk mengawali permainan sabung ayam, atau
diperagakan untuk bersuka ria ketika musim panen tiba pada malam bulan purnama.
Dalam ratoh, dapat diceritakan berbagai hal, dari kisah sedih, gembira,
nasehat, sampai pada kisah-kisah yang membangkitkan semangat. Ulama yang
mengembangkan agama Islam di Aceh umumnya berasal dari negeri Arab. Karena itu,
istilah-istilah yang dipakai dalam seudati umumnya berasal dari bahasa Arab.
Diantaranya istilah Syeh yang berarti pemimpin, Saman yang berarti delapan, dan
Syair yang berarti nyayian. Tari Seudati sekarang sudah berkembang ke seluruh
daerah Aceh dan digemari oleh masyarakat. Selain dimanfaatkan sebagai media
dakwah, Seudati juga menjadi pertunjukan hiburan untuk rakyat.
Tarian ini juga termasuk kategori
Tribal War Dance atau Tari Perang, yang mana syairnya selalu membangkitkan
semangat pemuda Aceh untuk bangkit dan melawan penjajahan. Oleh sebab itu
tarian ini sempat dilarang pada zaman penjajahan Belanda, tetapi sekarang
tarian ini diperbolehkan kembali dan menjadi Kesenian Nasional Indonesia.
Kata Seudati itu sendiri berasal dari bahasa Arab
“Syahadatain” atau “Syahadati” yang bermakna “doa pengakuan”. Orang yang berniat
masuk ke dalam agama Islam mereka harus mengucapkan kalimat ini. Yaitu mengaku
bahwa Tiada Tuhan selain ALLAH dan Nabi MUHAMMAD utusan ALLAH. Bila kita
menyelidiki lebih jauh dapat diketahui bahwa tarian ini pada mulanya bukanlah
sebuah tarian, akan tetapi suatu retus upacara agama dan dilaksanakan sambil
duduk. Namun dari manakah tari ini sebenarnya berasal? Tari ini berasal dari
Aceh Pidie. Awal mulanya dikembangkan di desa Gigieng, Kecamatan Simpang Tiga,
Kabupaten Pidie, yang dipimpin oleh Syeh Tam. Lalu berkembang ke desa Didoh,
Kecamatan Mutiara, Kabupaten Pidie yang dipimpin oleh Syeh Ali Didoh
1. 2. Provinsi
Sumatra Utara
a.
Tari Tradisional : Tari serampang
dua belas
Tari Serampang Dua Belas
Tari serampang dua belas merupakan salah satu tarian budaya
asal sumetera utara yang berkembang pada masa Kesultanan Serdang. Tarian ini diciptakan oleh Sauti pada tahun 1940-an
dan digubah ulang oleh penciptanya antara tahun 1950-1960 .
Sebelum bernama Serampang Duabelas, tarian ini bernama Tari Pulau Sari, sesuai dengan judul lagu yang mengiringi tarian ini, yaitu lagu Pulau Sari.
Sebelum bernama Serampang Duabelas, tarian ini bernama Tari Pulau Sari, sesuai dengan judul lagu yang mengiringi tarian ini, yaitu lagu Pulau Sari.
Tari Serampang Duabelas berkisah tentang cinta suci dua anak manusia yang muncul sejak pandangan pertama dan diakhiri dengan pernikahan yang direstui oleh kedua orang tua sang dara dan teruna. Oleh karena menceritakan proses bertemunya dua hati tersebut, maka tarian ini biasanya dimainkan secara berpasangan, laki-laki dan perempuan. Namun demikian, pada awal perkembangannya tarian ini hanya dibawakan oleh laki-laki karena kondisi masyarakat pada waktu itu melarang perempuan tampil di depan umum, apalagi memperlihatkan lenggak-lenggok tubuhnya .
hingga sekarang
tarian ini masih banyak yang menggemarinya. bukan dari kalangan indonesia saja
namun dari kalangan mancanegara pun turut antusias melihat tarian ini.
1. 3. Provinsi
Sumatra Barat
Tarian
Tradisional : Tari Piring
Tari Piring
Tari Piring atau dalam bahasa Minangkabau disebut dengan Tari Piriang, adalah salah satu jenis Seni Tari yang berasal dari Sumatra Barat yaitu masyarakat Minangkabau disebut dengan Tari Piring karena para penari saat menari membawa piring.
Pada mulanya, Tari Piring ini merupakan ritual
ucapan rasa syukur masyarakat setempat kepada dewa-dewa setelah mendapatkan
hasil panen yang melimpah ruah. Ritual dilakukan dengan membawa sesaji dalam
bentuk makanan yang kemudian diletakkan di dalam piring sembari melangkah
dengan gerakan yang dinamis.
Setelah masuknya agama Islam ke
Minangkabau, tradisi Tari Piring
tidak lagi digunakan sebagai ritual ucapan rasa syukur kepada dewa-dewa. Akan
tetapi, tari tersebut digunakan sebagai sarana hiburan bagi masyarakat banyak
yang ditampilkan pada acara-acara keramaian.
Tarian piring dan silat dipersembahkan di hadapan mempelai di luar rumah. Majelis perkawinan atau sesuatu apa-apa majlis akan lebih meriah jika diadakan tarian piring. Namun begitu, segelintir masyarakat tidak dapat menerima kehadiran kumpulan tarian kerana dianggap ada percampuran lelaki dan perempuan. Bagi mengatasi masalah itu, kumpulan tarian disertai hanya gadis-gadis sahaja.
Tari Piring dipercaya telah ada di
kepulaian melayu sejak lebih dari 800 tahun yang lalu. Tari Piring juga
dipercaya telah ada di Sumatra barat dan berkembang hingga pada zaman Sri
Wijaya. Setelah kemunculan Majapahit pada abad ke 16 yang menjatuhkan Sri
Wijaya, telah mendorong Tari Piring berkembang ke negeri-negeri melayu yang
lain bersamaan dengan pelarian orang-orang sri wijaya saat itu.
1. 4. Provinsi
Jambi
Tari
Tradisional : Tari Sekapur Sirih
Tari Sekapur Sirih
Asal usul tari sekapur sirih – Tari Sekapur Sirih merupakan
kesenian tari selamat datang yang diperuntukan kepada tamu-tamu besar. Tarian
sekapur sirih berasal dari Provinsi Jambi dan Riau.Selain itu tari sekapur
sirih juga terkenal di malaysia sebagai tarian wajib kepada tamu besar
Asal usul tari sekapur sirih memiliki makna Keagungan dalam
gerak yang lembut dan halus menyatu dengan iringan musik serta syair yang
ditujukan bagi para tamu. Menyambut dengan hati yang putih muka yang jernih
menunjukkan keramahtamahan bagi tetamu yang dihormati.
Tari sekapur sirih menggambarkan ungkapan rasa putih hati
masyarakat dalam menyambut tamu. Sekapur Sirih biasanya ditarikan oleh 9 orang
penari perempuan, dan 3 orang penari laki-laki, 1 orang yang bertugas membawa
payung dan 2 orang pengawal.
Propetri atau alat yang digunakan tari sekapur sirih :
·
Cerano/wadah
yang berisikan lembaran daun sirih
·
Payung
·
keris
·
Pakaian:
baju kurung /adat Jambi
·
Iringan
musik langgam melayu dengan alat musik yang terdiri dari : biola, gambus,
akordion, rebana, gong dan gendang.
15. Provinsi
Jawa Barat,
Tarian Tradisional : Tari Topeng
Tari Topeng
Sejarah
Asal Tari Topeng Di Cirebon - Tari topeng adalah salah satu tarian tradisional
yang ada di Cirebon. Tari ini dinamakan tari topeng karena ketika beraksi sang
penari memakai topeng.
Konon
jauh sebelum Tari Topeng masuk Cirebon, telah tumbuh dan berkembang sejak abad
ke 10-16 masehi di Jawa Timur. Pada masa pemerintahan Raja Jenggala,yakni Prabu
Amiluhur atau Prabu Panji Dewa.
Melalui
seniman jalanan (pengamen) seni Tari Topeng akhirnya masuk ke Cirebon dan
kemudian mengalami perpaduan dengan kesenian setempat. Pada masa Cirebon
menjadi pusat penyebaran Agama Islam (zaman Wali Songo), Syekh Syarif
Hidayatullah yang bergelar Syekh Sunan Gunung Jati bekerjasama dengan Syekh
Sunan Kalijaga memfungsikan Tari Topeng sebagai bagian dari upaya penyebaran
Agama Islam yang juga sebagai tontonan dilingkungan keratin disamping 6 (enam)
jenis kesenian lainnya seperti, Wayang Kulit, Gamelan Renteng, Brai, Angklung,
Reog dan Berokan.
Dalam
perkembangannya di masyarakat umum, Topeng Cirebon kemudian memperoleh dan
memiliki bentuk serta penyajiannya yang spesifik, yang selanjutnya dikenal
dengan istilah Tari Topeng Rahwana/Kelana, Tari Topeng Tumenggung,Tari Topeng
Rumyang,Tari Topeng samba dan Tari Topeng Panji yang menggunakan Topeng sebagai
penutup muka dengan 5 jenis topeng yang kemudian dikenal dengan Panca Wanda
(berarti lima wanda atau lima rupa), yakni Rahwana, Tumenggung, Rumyang, Samba
dan Panji.
1. 6. Provinsi
Jawa Tengah
Tarian
Tradisional : Bedhoyo Ketawang
Tari Bedhoyo Ketawang
Bedhaya
berasal dari bahasa Sanskerta budh yang berarti pikiran atau
budi. Dalam perkembangannya kemudian berubah menjadi bedhaya atau budaya.
Penggunaan istilah tersebut dikarenakan tari bedhaya diciptakan melalui proses
olah fikir dan olah rasa. Pendapat lain menyatakan bahwa bedhaya berarti penari
kraton, sedangkan ketawang berarti langit atau angkasa. Jadi bedhaya ketawang
berarti tarian langit yang menggambarkan gerak bintang-bintang, sehingga
gerakan para penarinya sangat pelan.
Menurut
kitab Wedbapradangga yang dianggap pencipta tarian Bedhoyo Ketawang adalah
Sultan Agung (1613-1645) raja ke-1 dan terbesar dari kerajaan Mataram bersama
Kanjeng Ratu Kencanasari, penguasa laut selatan yang juga disebut Kanjeng Ratu
Kidul. Sebelum tari ini diciptakan, terlebih dahulu Sultan Agung memerintahkan
para pakar gamelan untuk menciptakan sebuah gendhing yang bernama Ketawang.
Konon penciptaan gendhingpun menjadi sempurna setelah Sunan Kalijaga ikut
menyusunnya. Tarian Bedhoyo Ketawang tidak hanya dipertunjukan pada saat
penobatan raja yang baru tetapi juga pertunjukan setiap tahun sekali bertepatan
dengan hari penobatan raja atau "Tingalan Dalem Jumenengan".
Bedhoyo
Ketawang tetap dipertunjukkan pada masa pemerintahan Sri Susuhunan Paku Buwana
ke-XII (sekarang), hanya saja sudah terjadi pergeseran nilai filosofinya.
Pertunjukan Bedhoyo Ketawang sekarang telah mengalami tranformasi pada berbagai
aspek, baik aspek mistik maupun aspek politiknya. Bentuk tatanan pertunjukannya
masih mengacu pada tradisi ritual masa lampau. Namun nilainya telah bergeser
menjadi sebuah warisan budaya yang dianggap patut untuk dilestarikan. Busana
Tari Bedhoyo Ketawang menggunakan Dodot Ageng dengan motif Banguntulak
alas-alasan yang menjadikan penarinya terasa anggun.
Gamelan
yang mengiringinya pun sangat khusus yaitu gamelan "Kyai Kaduk Manis"
dan "Kyai Manis Renggo". Instrumen gamelan yang dimainkan hanya
beberapa yakni Kemanak, Kethuk, Kenong, Kendhang Ageng, Kendhang Ketipung dan
Gong Ageng. Istrumen-istrumen tersebut selain dianggap khusus juga ada yang
mempunyai nama keramat. Dua buah Kendang Ageng bemama Kanjeng kyai Denok dan
Kanjeng Kyai Iskandar, dua buah rebab bemama Kanjeng Kyai Grantang dan Kanjeng
Kyai Lipur serta sehuah Gong ageng bernama Kanjeng Nyai Kemitir. Pertunjukan
Bedhoyo Ketawang pada masa Sri Susuhunan Paku Buwana XII diselenggarakan pada
hari kedua bulan Ruwah atau Sya'ban dalam Kalender Jawa.
1. Provinsi
Jawa Timur
a. Tari
Tradisional : Reog Ponorogo
b. Reog
adalah salah satu kesenian budaya yang berasal dari Jawa Timur bagian
barat-laut dan Ponorogo dianggap sebagai kota asal Reog yang sebenarnya.
Gerbang kota Ponorogo dihiasi oleh sosok warok dan gemblak, dua sosok yang ikut
tampil pada saat reog dipertunjukkan. Reog adalah salah satu budaya daerah di
Indonesia yang masih sangat kental dengan hal-hal yang berbau mistik dan ilmu
kebatinan yang kuat.
c. da
lima versi cerita populer yang berkembang di masyarakat tentang asal-usul Reog
dan Warok, namun salah satu cerita yang paling terkenal adalah cerita tentang
pemberontakan Ki Ageng Kutu, seorang abdi kerajaan pada masa Bhre Kertabhumi,
Raja Majapahit terakhir yang berkuasa pada abad ke-15. Ki Ageng Kutu murka akan
pengaruh kuat dari pihak istri raja Majapahit yang berasal dari Cina, selain
itu juga murka kepada rajanya dalam pemerintahan yang korup, ia pun melihat
bahwa kekuasaan Kerajaan Majapahit akan berakhir. Ia lalu meninggalkan sang
raja dan mendirikan perguruan di mana ia mengajar seni bela diri kepada
anak-anak muda, ilmu kekebalan diri, dan ilmu kesempurnaan dengan harapan bahwa
anak-anak muda ini akan menjadi bibit dari kebangkitan kerajaan Majapahit
kembali. Sadar bahwa pasukannya terlalu kecil untuk melawan pasukan kerajaan maka
pesan politis Ki Ageng Kutu disampaikan melalui pertunjukan seni Reog, yang
merupakan "sindiran" kepada Raja Kertabhumi dan kerajaannya.
Pagelaran Reog menjadi cara Ki Ageng Kutu membangun perlawanan masyarakat lokal
menggunakan kepopuleran Reog.
d. Dalam
pertunjukan Reog ditampilkan topeng berbentuk kepala singa yang dikenal sebagai
"Singa barong", raja hutan, yang menjadi simbol untuk Kertabhumi, dan
diatasnya ditancapkan bulu-bulu merak hingga menyerupai kipas raksasa yang
menyimbolkan pengaruh kuat para rekan Cinanya yang mengatur dari atas segala
gerak-geriknya. Jatilan, yang diperankan oleh kelompok penari gemblak yang
menunggangi kuda-kudaan menjadi simbol kekuatan pasukan Kerajaan Majapahit yang
menjadi perbandingan kontras dengan kekuatan warok, yang berada dibalik topeng
badut merah yang menjadi simbol untuk Ki Ageng Kutu, sendirian dan menopang
berat topeng singabarong yang mencapai lebih dari 50 kg hanya dengan
menggunakan giginya.
No comments:
Post a Comment